TOKOH, WARTA9 – Tak banyak yang mampu meniti jalan perjuangan dari titik nol, memulainya dari lorong-lorong desa hingga akhirnya duduk di kursi terhormat sebagai Ketua DPRD Sumenep.
Sosok itu bernama H Zainal Arifin seorang pemimpin yang tak hanya dikenal karena suaranya yang merakyat, tetapi juga jejak hidupnya yang penuh liku, pengabdian, dan keberanian mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
Semua bermula pada tahun 2002, saat ia terpilih menjadi Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) di Desa Tambaagung Tengah, Kecamatan Ambunten. BPD kala itu bukan sekadar lembaga desa, melainkan representasi nyata rakyat—ibarat DPR-nya desa.
Dalam peran itu, ia tidak hanya duduk, tapi bekerja, mendengarkan, dan memperjuangkan aspirasi warga selama lima tahun. Namun, pada tahun 2006, ia memilih mundur. Bukan karena lelah, bukan karena kalah, tapi karena ingin mencari rezeki di tanah suci, Arab Saudi.
Menjadi gayet, atau pemandu haji, di Mekkah adalah langkah yang penuh keberanian. Di sana ia bekerja menjadi motowwif, membimbing jamaah, sekaligus merenungi arah hidupnya. Tak disangka, panggilan kampung halaman datang lebih cepat.
Masyarakat yang mengenangnya sebagai Ketua BPD yang bersih dan vokal, memintanya pulang untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Mereka rindu akan pemimpin yang hadir dari rakyat dan untuk rakyat.
H Zainal Arifin kembali ke tanah air pada Januari 2007. Di tengah persiapan Pilkades yang sudah hampir tutup, ia dan tim mendaftarkan diri pada hari terakhir. Dengan tekad dan doa, ia pun memenangkan Pilkades. Ia berhasil mendapat mandat dari warga untuk menjadi Kepala Desa Tambaagung Tengah melengserkan petahana kala itu, H Muhdar Umar.
Di masa itu pula, ia sempat menjadi Ketua PAC PPP Kecamatan Ambunten. Namun, loyalitasnya diuji—ia diminta mundur karena menjabat sebagai kepala desa, dan walau dengan berat hati, ia patuh.
Ia hanya meminta satu hal: bila kelak ia mencalonkan diri sebagai anggota dewan, PPP tetap mendukungnya. Sayangnya, janji itu tak ditepati hanya karena hal sepele—ia dianggap tak cukup agamis karena jarang memakai songkok.
Memasuki akhir masa jabatan kedua sebagai kepala desa, H Zainal Arifin kembali ingin mengabdi, kali ini melalui jalur politik yang lebih luas. Ia mendatangi gurunya, KH Qusyairi Muhammad, pengasuh Ponpes Dliyaut Thalibin, Sogian yang mengarahkannya ke PKB. Namun lagi-lagi ia ditolak. Harapannya hampir pupus. Tapi takdir tak pernah salah pintu.
Di suatu kesempatan, seorang tokoh besar, MH Said Abdullah—Anggota DPR RI dari PDIP—datang ke desanya. Dalam kunjungan reses itu, H. Zainal tak bicara soal politik. Ia hanya meminta satu hal: pembangunan tandon air untuk warganya.
Tak butuh birokrasi panjang, Said Abdullah langsung menyumbang Rp50 juta dari kantong pribadinya. Dua bulan berselang, telepon dari Said Abdullah datang: ia diminta maju sebagai calon legislatif dari PDIP. H Zainal sempat menolak karena tidak memiliki cukup uang untuk biaya politik. Namun Said hanya menjawab, “Yang kamu butuhkan bukan uang, tapi wibawa dan kepiawaian.”
Setelah beristikharah dan meminta restu dari KH Muhammad Syamsul Arifin Ponpes Darul Ulum Banyuanyar, ia memantapkan hati. Maka dimulailah babak baru pengabdiannya sebagai anggota DPRD Sumenep Dapil 4 Kecamatan Ambunten, Dasuk, Rubaru, dan Pasongsongan dari PDIP.
Tiga kali pemilihan, tiga kali terpilih, dengan suara yang terus meningkat setiap periode. Ia dikenal sebagai sosok yang konsisten, sederhana, dan selalu mendahulukan kepentingan rakyat.
Hingga akhirnya, pada tahun 2024, PDI Perjuangan mempercayakan amanah besar sebagai Ketua DPRD Sumenep periode 2024–2029. Jabatan yang bukan diraih karena ambisi, tapi karena dedikasi panjang yang berakar dari tanah desa, dibangun dengan niat tulus, dan dipandu oleh restu guru-guru spiritualnya.
H Zainal Arifin adalah bukti bahwa seorang pemimpin besar tak harus lahir dari kota besar. Ia bisa tumbuh dari jalan berdebu di desa, dari musholla kecil, dari suara rakyat kecil yang percaya pada ketulusan. Perjalanannya adalah inspirasi bahwa keikhlasan, kejujuran, dan keberanian akan menemukan jalannya sendiri.