Surat dari Warung Kopi untuk Bupati

Ilustrasi karikatur satir penikmat kopi warung (Gambar: Doc. Parekas.com)
Ilustrasi karikatur satir penikmat kopi warung (Gambar: Doc. Parekas.com)

Bang Uji yang baik dan terhormat, izinkan saya mengadu. Bukan mengadu layangan, tapi mengadu nasib kami—nasib kebenaran yang makin hari makin terjepit di balik viralnya mobil dinas abang dan siaran pers riasan.


Jadi begini, Bang. Abang itu sekarang punya banyak fans, lho! Bukan fans garis keras yang bela sampai titik darah penghabisan, tapi fans garis lentur—yang belok sesuai arah angin anggaran.

Mereka bukan cuma suka sama abang, mereka ‘haus pujian abang’. Kadang-kadang saya curiga, kalau abang batuk pun mereka ingin tulis:

“Bupati Batuk, Udara Madura Terharu!” haha.. Guyon dikit.

Ya, baru-baru ini, satu media berani menulis soal kemewahan kendaraan dinas abang. Tentu wajar saja publik mengamati. Tapi yang tak wajar adalah bagaimana rombongan berita tandingan tiba-tiba menyerbu beranda.

Baca Juga:  Mudik; Memulung Ingatan di Kampung Kenangan

Redaksi demi redaksi mendadak seperti juru bicara darurat. Siaran pers dicetak ulang dengan semangat pahlawan, seperti hendak menyelamatkan negara dari krisis citra.

Bang Uji, tahu gak? Mereka panik, Bang. Bukan panik karena kebenaran, tapi panik karena kehilangan peluang selfie dan mention Instagram dari abang.

Ada yang kerja di pojok media center—pegawainya lebih fasih ngedit foto bupati daripada baca Undang-Undang Pers.

Mereka itu netizen berseragam dinas, siap kirim link berita palsu netral ke semua grup, sambil bilang: “Ini lho, klarifikasinya.” Padahal itu cuma siaran pers rasa air mineral—bening, hambar, dan numpang lewat.

Ada juga wartawan orbitan kekuasaan. Mereka ini belum pernah ikut UKW, tapi gaya wawancaranya kayak wartawan perang. Sayangnya, yang dilawan bukan ketimpangan, tapi media yang tak masuk lingkaran WhatsApp mereka.

Baca Juga:  Jurnalis, Rejeki, dan Lubang Buaya

Bang Uji, kalau boleh saran, abang perlu duduk sebentar dan bilang ke mereka:

“Jurnalisme bukan lomba cepat-cepat tayang, apalagi lomba cari perhatian saya. Kalau kalian menulis hanya untuk membuat saya senang, saya justru sedih. Karena saya butuh dikritik agar bisa lebih baik. Bukan disanjung agar makin lupa daratan.”

Sebagai orang yang juga hidup dari kata, saya cuma ingin bilang: membela boleh, asal jangan buta. Menulis itu seharusnya untuk mengabarkan, bukan mengabdi demi stempel basah dari protokoler.

Kalau pembaca hari ini meninggalkan berita, bukan karena mereka apatis, tapi karena mereka muak disuguhi naskah penuh settingan.

Baca Juga:  Jejak Rempah di Tanah Jambi: Menyelami Filosofi Tradisi Ngiling Bumbu

Lama-lama, media kita ini bukan watchdog, tapi lapdog. Bukan menggonggong demi publik, tapi menggonggong karena disuruh duduk.

Dan kami di warung kopi, cukup jadi penonton. Sambil seruput kopi sachet dan gorengan dua ribu, kami tertawa pelan:

“Lihat tuh, berita udah kayak FTV pagi hari. Ending-nya selalu bahagia… buat pejabat!”

Bang Uji, sekali lagi saya titip kabar ini. Kalau abang sayang pada jurnalisme, tolong ingatkan mereka: jangan jadi pelayan narasi yang hanya ingin disukai.

Karena sejarah tak mencatat siapa yang paling dekat kekuasaan, tapi siapa yang paling berani bicara saat kekuasaan lupa caranya mendengar.

Gitu kan, bang…