KELILING, PAREKAS – Sumenep menyimpan banyak situs bersejarah yang hingga kini masih menjadi bagian dari tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat. Salah satunya adalah Bâto Ghung, sebuah batu besar yang terletak di Kampung Toatas, Desa Tenunan, Kecamatan Manding. Batu ini diyakini sebagai tempat pertapaan tokoh legendaris Madura, Jokotole, serta memiliki sejumlah kisah mistis yang masih dipercaya hingga kini.
Jejak Sejarah Bâto Ghung
Menurut penuturan budayawan muda Sumenep, Amin Bashiri, keberadaan Kampung Toatas yang menjadi lokasi Bâto Ghung kini sudah mengalami perubahan signifikan. Penduduk asli kampung tersebut diduga telah berpindah atau berasimilasi akibat migrasi, perkawinan lintas daerah, atau faktor sosial lainnya. Namun, tradisi dan kepercayaan terhadap Bâto Ghung tetap hidup di tengah masyarakat.
Salah satu kepercayaan yang masih dijaga adalah ritual menabur beras kuning (bherrâs konèng) setiap musim penghujan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk upaya masyarakat dalam menghindari banjir besar yang mereka yakini dapat menenggelamkan Kabupaten Sumenep. Secara geografis, lokasi ini memang memiliki sumber mata air kecil yang saat musim hujan dapat meluap dan menyebabkan banjir besar.
Legenda Jokotole dan Megaremmeng
Kisah rakyat yang berkembang menyebutkan bahwa Jokotole, seorang tokoh legendaris Madura, pernah mengutus kudanya yang bernama Megaremmeng untuk menutup sumber mata air di lokasi tersebut. Dengan hentakan kudanya, sebuah batu besar menutup mata air yang berpotensi meluap. Sejak saat itu, batu tersebut dikenal dengan nama Bâto Ghung.
Keunikan batu ini terletak pada sifatnya yang mampu menghasilkan gema saat diketuk, bahkan hanya dengan jari tangan. “Deng… deng… deng…” demikian bunyi gema yang dihasilkan, sebagaimana dijelaskan oleh Amin Bashiri.
Fenomena Mistis dan Gangguan Alat Berat
Bâto Ghung kembali menjadi perbincangan saat proyek pembangunan Jalan Lingkar Utara yang menghubungkan tiga desa—Parsanga, Kebunan, dan Tenonan—melibatkan area batu tersebut. Saat alat berat berupa ekskavator dikerahkan untuk membongkar batu, mesin tiba-tiba mati dan tidak dapat beroperasi. Kejadian serupa juga pernah terjadi sebelumnya, menyebabkan pembatalan rencana pembongkaran dan pengalihan jalur pembangunan jalan.

Candi Burung dan Kepercayaan Masyarakat
Area sekitar Bâto Ghung dikenal dengan nama Candi Burung, yang hingga kini masih dianggap sebagai tempat keramat. Menurut kepercayaan masyarakat, pencuri yang mencoba melarikan diri ke arah Candi Burung akan mengalami kebingungan dan kehilangan arah. Bahkan, jika seorang maling mencuri sapi dan melarikan diri ke lokasi tersebut, diyakini sapi tersebut akan disembelih di sana karena pelaku tidak dapat menemukan jalan keluar.
Fenomena serupa juga terjadi di Makam Panyerghu’ di Desa Paberasan, yang disebut-sebut dapat ‘menyedot’ pencuri ke arahnya, membuat mereka tidak bisa melarikan diri. Kepercayaan ini telah menjadi bagian dari narasi mistis masyarakat setempat yang terus diceritakan dari generasi ke generasi.
Bâto Ghung: Antara Sejarah dan Mitos
Bâto Ghung tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Sumenep, tetapi juga menjadi bagian dari mitologi yang terus dipercaya masyarakat. Baik sebagai warisan budaya maupun fenomena alam yang unik, keberadaan batu ini menambah kekayaan cerita rakyat yang membentuk identitas lokal Sumenep. Hingga kini, Bâto Ghung tetap berdiri kokoh, menyimpan misteri yang belum sepenuhnya terungkap.***