Menilik Keunikan Desa Pagayaman, Harmoni Islam dan Budaya Bali di Buleleng

Gapura: Pintu masuk Desa Pagayaman di Buleleng Bali yang bertulislan arab. (Istimewa)
Gapura: Pintu masuk Desa Pagayaman di Buleleng Bali yang bertulislan arab. (Istimewa)

 

KELILING, PAREKAS – Desa Pegayaman merupakan sebuah perkampungan yang terletak di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali.

Desa ini menyimpan sejarah panjang dan unik, terutama terkait dengan keberadaan komunitas Muslim yang telah hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat Hindu Bali selama berabad-abad.

Jejak awal kehadiran umat Islam di Pegayaman ditelusuri sejak masa pemerintahan Ki Barak Panji Sakti, seorang tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Buleleng.

Pada masa pemerintahannya, Ki Barak Panji Sakti pernah memberikan bantuan kepada Kerajaan Mataram. Sebagai balas jasa, beliau menerima 100 prajurit Muslim dan seekor gajah. Para prajurit inilah yang kemudian menetap di wilayah Pegayaman dan menjadi embrio dari komunitas Muslim pertama di Bali bagian utara.

Baca Juga:  Achmad Fauzi Wongsojudo-KH. Imam Hasyim Resmi Ditetapkan sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumenep 2024-2029

Seiring berjalannya waktu, terjadi proses akulturasi yang harmonis antara budaya Islam dan tradisi Bali. Masyarakat Muslim di Pegayaman mulai mengadopsi berbagai unsur budaya lokal, termasuk dalam sistem penamaan anak, di mana nama-nama seperti Made, Ketut, dan Nyoman digunakan sebagaimana lazimnya di keluarga Bali.

Toleransi antarumat beragama di desa ini patut dijadikan contoh. Ketika umat Hindu merayakan hari suci seperti Nyepi, Galungan, dan Kuningan, warga Muslim turut serta menjaga ketenangan desa, bahkan membantu membuat Ogoh-Ogoh sebagai bagian dari ritual Nyepi.

Sebaliknya, saat hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau Maulid Nabi tiba, warga Hindu juga ikut merayakan dengan cara menerima makanan halal yang dibagikan oleh tetangga Muslim melalui tradisi “ngejot”, yakni berbagi hidangan ke rumah-rumah tetangga.

Baca Juga:  Misteri Bâto Ghung: Batu Bergema di Sumenep yang Menelan Maling dan Menghentikan Alat Berat

Menariknya, masyarakat Muslim Pegayaman juga menghidupkan tradisi khas Bali dalam perayaan keagamaannya.

Saat Ramadan, kegiatan berbuka bersama atau megibung menjadi momen kebersamaan yang sarat nilai gotong royong. Demikian pula saat perayaan Maulid Nabi, mereka merayakannya sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad atau dikenal juga sebagai “otonan Nabi”.

Dalam perayaan ini, masyarakat membuat dan mengarak Sokok Base dan Sokok Taluh, sebuah tradisi yang kental nuansa religius dan sarat nilai simbolik khas Pegayaman.

Selain kebudayaan, kesenian di Pegayaman juga menunjukkan integrasi budaya yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah kesenian musik Burdah, yang khas dan berbeda dari wilayah lain di Indonesia.

Baca Juga:  Festival Srikaya 2025, Sajikan Manisnya Ramadan dengan Produk Lokal Sumenep

Syair yang dilantunkan dalam pertunjukan Burdah di desa ini memiliki kemiripan dengan kidung-kidung Bali, dan para penampilnya mengenakan busana adat Bali, menandakan perpaduan yang indah antara nilai spiritual Islam dan estetika budaya Bali.

Desa Pegayaman bukan hanya sekadar desa biasa, melainkan cermin dari keberhasilan integrasi budaya dan keberagaman yang hidup rukun dalam satu komunitas. Warisan ini menjadikan Pegayaman sebagai simbol toleransi dan keharmonisan yang layak untuk terus dilestarikan dan dijadikan inspirasi bagi masyarakat luas.***