Oleh: Hayat
Penulis adalah jurnalis muda, bukan Kiyai.
OPINI, PAREKAS – Setiap tahun, momen Lebaran yang seharusnya menjadi ajang silaturahim dan refleksi diri justru berubah menjadi parade kekayaan dan jabatan. Media sosial dibanjiri dengan foto-foto orang berpakaian serba mewah, memamerkan hampers mahal, hingga konvoi mobil mewah menuju kampung halaman.
Tak ketinggalan, para pejabat dan pengusaha berlomba-lomba menunjukkan kekuatan finansial mereka dengan bagi-bagi THR yang nilainya fantastis bukan karena niat berbagi, tapi lebih pada pencitraan.
Apakah ini esensi Lebaran yang sebenarnya? Bukankah selama Ramadan kita diajarkan untuk menahan hawa nafsu, termasuk nafsu pamer? Ironisnya, begitu takbir berkumandang, nilai-nilai kesederhanaan langsung sirna, digantikan dengan perlombaan eksistensi sosial.
Tak hanya di media sosial, fenomena ini juga terasa dalam lingkup keluarga. Silaturahim yang seharusnya mempererat tali persaudaraan justru kerap berubah menjadi ajang adu gengsi.
Obrolan seputar pekerjaan, penghasilan, dan aset menjadi menu wajib di setiap pertemuan. Pertanyaan seperti “Sekarang kerja di mana?”, “Udah punya rumah sendiri belum?”, atau “Gajinya berapa?” seolah menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang.
Bagi yang merasa “menang” dalam kompetisi ini, mereka akan berbicara dengan bangga. Namun, bagi yang belum mencapai standar sosial yang dianggap ideal, Lebaran bisa berubah menjadi momen penuh tekanan dan rasa minder.
Jika terus begini, makna Lebaran akan semakin terkikis. Alih-alih menjadi hari kemenangan untuk kembali ke fitrah, justru menjadi ajang kompetisi yang menjauhkan kita dari nilai-nilai ketulusan dan kesederhanaan.
Sudah saatnya kita mengembalikan esensi Lebaran sebagai momen introspeksi, saling memaafkan, dan berbagi kebahagiaan tanpa embel-embel status sosial. Sebab, di mata Tuhan, yang paling berharga bukanlah jabatan atau harta, melainkan hati yang bersih dan ketulusan dalam berbagi.