CATATAN, PAREKAS – Di negeri ini, menyambut jemaah haji tak ubahnya menyambut nabi yang baru turun dari langit ketujuh. Tak cukup dengan pelukan dan air mata haru di bandara—harus ada arak-arakan, konvoi motor, klakson bertalu, dan sound system sebesar dosa-dosa masa lalu.
Yang pulang dari haji mungkin berharap ketenangan setelah menunaikan ibadah rukun Islam kelima. Tapi ketenangan itu langsung sirna begitu pintu bandara terbuka dan dia disambut dengan TOA menggelegar memutar sholawat remix dicampur dangdut religi edisi spesial “semua agama masuk, semua genre keluar.”
Konvoi haji kini bukan lagi tradisi, tapi semacam unjuk kekuatan—bahwa keluarga kami pernah menginjakkan kaki di tanah Arab dan karena itu, jalanan harus diberi tahu. Jalan desa, jalan kabupaten, jalan provinsi: semua jadi panggung spiritual, lengkap dengan knalpot brong dan bocah-bocah unhelmeted yang nyaris masuk berita duka.
Tapi yang paling sakral dari semua ritual ini adalah… macet.
Ya, macet. Macet total. Macet kronis. Macet yang membuat jalan utama berubah fungsi: bukan lagi tempat lalu lintas kendaraan, tapi jadi runway mobil pengangkut haji plus sound system berkekuatan mengusir malaikat pencatat amal.
Ambulans? Disuruh sabar. Ibu hamil mau ke bidan? Disuruh minggir. Anak sekolah yang telat? Disarankan belajar ikhlas sejak dini.
Yang lebih mengenaskan, kadang konvoi ini melintasi jalan sempit dengan gaya konvoi presiden. Tak peduli ada sepeda motor nyelip, tak peduli ada angkot bawa penumpang, semua harus mengalah demi “rombongan orang suci.” Karena rupanya, masuk surga memang harus lewat jalur yang memacetkan bumi.
Apa yang mulanya ibadah, kini jadi ajang pamer. Mobil dihias bak pengantin, wajah sang haji ditempel di spanduk ukuran jumbo, kadang ditambahi pujian-pujian yang entah ditulis pakai pena atau keangkuhan. Bahkan beberapa menyewa kamera drone, seolah kepulangan itu harus direkam dari udara agar malaikat bisa menonton ulang.
“Selamat Datang Haji Fulan, Telah Kembali dari Tanah Suci.” Tapi sayangnya, yang tak ikut suci adalah sikap sebagian rombongan. Buang sampah sembarangan, teriak-teriak di jalan, dan membuat orang lain lebih banyak mengucap “astaghfirullah” daripada “alhamdulillah”.
Di zaman ini, haji bukan hanya ibadah, tapi juga konten. Kepulangan tak sah kalau belum viral. Diiringi live Instagram, dibubuhi caption penuh hikmah, tapi dengan perilaku yang bikin warga ingin menghikmahkan batok kepala.
Kenapa tidak buat iring-iringan diam? Kenapa tidak berbagi makanan di panti asuhan? Kenapa tidak selenggarakan doa bersama tanpa TOA yang bikin burung walet minggat? Karena rupanya, spiritualitas di negeri ini butuh validasi decibel dan jumlah views.
Mungkin sudah waktunya kita bertanya: untuk siapa sebenarnya iringan haji ini? Untuk sang haji? Untuk keluarga? Atau untuk ego yang ingin diakui sebagai “orang beriman dengan power sosial tinggi”?
Karena ironis betul: seseorang baru pulang dari rumah Tuhan, tapi disambut dengan cara yang menginjak hak orang lain. Mungkin Tuhan tidak menolak sambutanmu. Tapi warga sekitar? Sudah jelas mengutuk dalam diam—terutama yang terjebak macet tiga jam tanpa kepastian kapan jalan kembali normal.
Dan jika itu dianggap bentuk syukur, maka barangkali kita perlu belajar bahwa syukur sejati tidak menuntut panggung. Ia hanya butuh kesadaran — bahwa yang baru kembali dari Mekkah seharusnya membawa damai, bukan deru motor dan kontribusi aktif terhadap kemacetan nasional.***