Jurnalis, Rejeki, dan Lubang Buaya

Gambar Ilustrasi Jurnalis, Rejeki, dan Lubang Buaya (Doc. Parekas)
Gambar Ilustrasi Jurnalis, Rejeki, dan Lubang Buaya (Doc. Parekas)

“Bagaimana jika rejeki kita ada di lubang buaya?”

“Angkat rejekinya, biarkan buaya-buaya itu tetap di lubangnya.”


CATATAN, PAREKAS – Demikian percakapan singkat penulis dengan jurnalis media dimadura.id, Mazdon, Rabu (23/4) pagi.

Begitulah cara kami, para jurnalis di ujung timur Pulau Madura, melihat absurditas yang setiap hari tersaji dalam panorama berita.

Di Sumenep, kami tak kekurangan bahan untuk menulis kisah: mulai dari proyek rumah tak layak huni yang mendadak jadi vila kontainer, sampai kisah rakyat kecil yang diminta ganti KWh meter dengan biaya ‘sukarela yang diwajibkan’.

BSPS, misalnya. Di atas kertas, program itu ditulis seindah mimpi pemerintah: rumah layak, bantuan stimulan, masyarakat tersenyum bahagia. Namun di lapangan, ada rumah-rumah yang tak pernah dibangun tapi tetap selesai dilaporkan. Tukang mencatat bahan bangunan yang tak pernah turun, dan warga yang tiba-tiba sudah menandatangani berita acara—meski belum tahu ukuran batako.

Baca Juga:  Lebaran dan Kue di Rumah Orang

Apakah rejeki jurnalis ada di sana? Bisa jadi. Tapi bukan rejeki dalam bentuk amplop, melainkan nilai kebenaran yang terkubur.

Rejeki kami adalah berita yang belum diangkat, adalah suara warga yang belum sempat ditulis, adalah skema-skema licik yang masih berselimut retorika musyawarah dan gotong royong.

Namun, mengangkat rejeki itu tak semudah menggali sumur bor. Harus ada keberanian, juga strategi. Sebab lubang itu dijaga buaya-buaya yang tak segan mengigit balik. Buaya yang menyamar jadi tokoh, kadang pejabat, kadang pula kontraktor dengan lencana ormas. Mereka pandai berpose, tetapi tak suka ditanya soal nota dan RAB.

Baca Juga:  Pembangunan Sumenep Tak Boleh Tertinggalkan Wilayah Kepulauan

Lalu bagaimana caranya?

Pertama, jurnalis harus kompak. Jangan rebutan mikrofon ketika sedang mengorek tanah merah lubang buaya. Kedua, jangan takut kotor. Tak mungkin menggali tanpa sedikit tanah menempel di tubuh. Ketiga, jangan baper kalau digonggong. Itu artinya galian kita sudah dekat dengan sarang buaya.

Toh, kata orang bijak: “Jika kau takut pada buaya, kau takkan pernah tahu apa yang ada di dasar lubang.”

Sumenep masih punya banyak lubang. Di desa, di kota, bahkan di kantor-kantor dengan logo garuda dan senyum tiga jari. Tinggal siapa yang berani menyelam dan membawa naik rejeki itu ke permukaan.

Baca Juga:  DPRD Sumenep Susun Rencana Kerja Tiga Bulan ke Depan, Reses Kedua Dijadwalkan Setelah Idulfitri

Karena sesungguhnya, sebagian rejeki itu memang milik kita—para jurnalis, yang sejak awal memilih menjadi suara bagi yang tak terdengar. Jangan biarkan rejeki itu dimakan sendiri oleh buaya. Kita hanya perlu satu hal: berani menyelam dan menulis. Sebab tulisan yang jujur, jauh lebih tajam dari taring buaya manapun.***