CATATAN, PAREKAS – Ada yang ngebul, Boss! Bukan knalpot mobil dinas bupati, tapi kepala paramaos media center. Semua gara-gara satu media nekat menulis soal “kemewahan berkaki empat”—beberapa kendaraan sang bupati.
Belum sempat reda asap penasaran, eh, muncullah barisan berita tandingan—lengkap dengan seragam narasi, gaya heroik, dan gaya bahasa yang lebih cocok jadi naskah lomba pidato tingkat kecamatan.
Ini bukan lagi soal mobil, kawan… Ini sudah masuk ranah estetika kepanikan. Parfum kegelisahan pejabat tiba-tiba menyebar lewat paragraf-paragraf pembelaan yang ditulis dengan jari gemetar tapi penuh semangat.
Kalau biasanya media itu watchdog, kini malah berubah jadi guard-dog—lengkap dengan gonggongan template dan lidah yang dijilat-jilatkan ke tangan kekuasaan.
Jangan salah, para penulis berita ini bukan wartawan karbitan. Boleh dibilang lebih dari itu—mereka wartawan instan, sejenis mie celup yang tinggal seduh saat siaran pers datang.
Mereka lahir dari rahim media center, dibesarkan di pangkuan grup WhatsApp protokoler—dan, setiap pagi, dimandikan dengan press release yang sudah diberi judul.
Yang lebih unik lagi, mereka ini sering pakai ID Card bertuliskan “jurnalis”, padahal ujian kompetensinya belum pernah dicicipi—yang penting sudah selfie bareng pejabat dan tahu kapan harus ketik “Bupati Apresiasi”. Hahhayy…
Fenomena ini biasa disebut gegar budaya media. Ketika kritik muncul, yang panik bukan pejabatnya, tapi para penggembira berita.
Mereka suka menari di panggung dengan kostum “netral”, padahal kaki kanan di ruang rapat, kaki kiri di kas keuangan.
Mereka tak lagi menulis berita untuk publik, tapi untuk memuaskan urat malu orang dalam. Kita seperti menonton sinetron jam lima sore—ceritanya murahan, plot-nya mudah ditebak, dan aktornya selalu itu-itu saja: media center, pewarta lingkar kekuasaan, dan netizen bayaran.
Lalu pembaca? Mereka cukup geleng-geleng kepala, seruput kopi sachet, dan pelan-pelan bilang: “Ah, ini mah berita rasa orderan.” Habis perkara!
Penulis jadi paham, bahwa kalau media sudah kehilangan nyali, maka yang tersisa hanya baliho digital—besar, penuh warna, tapi hambar dan tak digubris.
Dan kepada pemerintah yang gampang limbung, percayalah: terlalu banyak berita pembelaan malah bikin publik yakin bahwa luka itu memang ada. Kepanikan, kawan… adalah pengakuan tanpa kata.
Akhirnya, kita hanya bisa tertawa getir melihat parade berita tandingan ini. Sebuah orkestra panik yang digelar dengan gegap gempita, tapi sepi penonton.
Karena publik hari ini tak butuh media yang manis di lidah kekuasaan, tapi yang pahit di awal dan menyembuhkan di akhir.
(*)