Cara Orang Barat Jual Imajinasi: Keunggulan Teknologi dan Kegagalan Metafisika

MEMUKAU: Salah satu efek CGI yang dihadirkan dalam sekuel Film Scarlet Witch (doc. redaksi)
MEMUKAU: Salah satu efek CGI yang dihadirkan dalam sekuel Film Scarlet Witch (doc. redaksi)

OPINI, PAREKAS – Orang Barat memiliki cara khas dalam menjual imajinasi dalam film, terutama melalui teknik storytelling, efek visual, pemasaran, dan pendekatan budaya yang kuat.

Dengan kombinasi teknik yang dimiliki, industri film Barat berhasil menjual imajinasi yang tak hanya menghibur tetapi juga berpengaruh secara global.

Orang Barat, terutama Hollywood, memang sangat unggul dalam menciptakan film dengan CGI (Computer-Generated Imagery) yang luar biasa.

Industri film Barat selalu bereksperimen dengan teknologi baru, seperti virtual production (digunakan dalam The Mandalorian) yang menggabungkan CGI dengan layar LED raksasa untuk membuat latar yang realistis tanpa harus menggunakan green screen secara tradisional

Film seperti Avatar, Avengers: Endgame, The Lord of the Rings, dan Jurassic Park adalah contoh bagaimana CGI digunakan untuk menciptakan dunia dan karakter yang memukau. Dengan kombinasi teknologi tinggi, anggaran besar, dan tenaga ahli, mereka terus menjadi yang terdepan dalam industri film berbasis CGI.

Baca Juga:  Jurnalis, Rejeki, dan Lubang Buaya

Namun sadarkan kalian bahwa sebenarnya dibalik keunggulan tersebut, ada satu kesalahan fatal yang dimiliki orang barat? Mereka gagal memahami konteks metafisika. Segala sesuatu yang bersifat irrasional bagi mereka adalah pengetahuan yang belum terungkap. Jadi, orang barat selalu mengaitkan fenomena ‘ghaib’ sebagai energi yang tersembunyi.

Orang Barat, khususnya dalam tradisi ilmiah dan rasionalisme modern, memang memiliki keterbatasan dalam memahami atau “memecahkan” kode serta totem metafisika, terutama yang berakar dari tradisi spiritual, esoterik, dan filsafat Timur atau budaya pribumi.

Salah satu alasan utama adalah dominasi rasionalisme dan empirisme dalam cara berpikir mereka. Barat sangat mengutamakan metode ilmiah yang berbasis pada pengukuran dan logika, sehingga hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empiris sering dianggap tidak valid atau sekadar mitos. Ini membuat banyak konsep metafisika, seperti energi spiritual, kesadaran kosmis, atau simbolisme sakral, sulit diterima dalam wacana akademik mereka.

Baca Juga:  Part 2: Contoh Seloka Kuno dan Peribahasa Madura dalam Buku Kartosoedirdjo 1919

Selain itu, banyak budaya Barat modern telah kehilangan koneksi dengan tradisi mistik dan metafisika kuno mereka sendiri. Ajaran seperti alkimia, hermetisisme, dan spiritualitas Druid telah terpinggirkan, berbeda dengan budaya Timur atau masyarakat adat yang masih menjaga praktik spiritualnya melalui meditasi, yoga, dan ritual tradisional. Ketika Barat mencoba memahami metafisika, pendekatan mereka sering kali terlalu mekanis dan matematis. Mereka berusaha “memecahkan” konsep-konsep metafisik dengan cara berpikir linier, padahal banyak ajaran spiritual justru menekankan keseimbangan dinamis yang tidak bisa direduksi menjadi formula eksak.

Kesulitan lain yang mereka hadapi adalah dalam memahami simbolisme totemik. Banyak budaya metafisik menggunakan simbol sebagai sarana komunikasi spiritual, tetapi orang Barat sering kali menafsirkannya secara harfiah atau menganggapnya sekadar mitologi. Dalam budaya pribumi, totem bukan hanya sekadar representasi binatang, tetapi juga mencerminkan hubungan spiritual dengan alam dan leluhur. Namun, karena pengaruh sekularisme dan materialisme yang sangat kuat, masyarakat Barat cenderung lebih fokus pada dunia fisik dan mengabaikan realitas non-material seperti kesadaran kolektif atau dimensi spiritual yang lebih tinggi.

Baca Juga:  Temberungun: Hidangan Bersejarah yang Melekat dalam Budaya Suku Tidung

Meski demikian, ada beberapa individu dan kelompok di Barat yang berusaha memahami metafisika secara lebih mendalam, termasuk para filsuf eksistensialis, komunitas spiritual, dan ilmuwan yang meneliti kesadaran serta fenomena kuantum. Namun, secara umum, cara berpikir mereka masih terbatas oleh paradigma rasionalisme yang membuat pemahaman terhadap aspek metafisik menjadi sulit atau bahkan ditolak.***