Dibalik Megahnya Panggung Hari Jadi, Untuk Siapa Semua ini Digelar?
CATATAN, PAREKAS – Sebuah potongan video dikirim melalui grup WhatsApp, memperlihatkan bagaimana ramainya perayaan Hari Jadi Kabupaten Sumenep yang digelar pada Jumat (25/10)
Uniknya, ada caption yang menyertai kiriman video tersebut dengan bunyi:
“Lapangan sempit, Masyarakat tidak bisa menikmati Hari Jadi Sumenep, EO mana EO? ”
Tidak hanya itu, kiriman video tersebut disusul dengan unggahan foto dengan keterangan ” Seperti menonton kerapan sapi, space untuk wartawan dibatasi” diakhiri dengan emote seorang menepuk jidat.
Perayaan Hari Jadi Kabupaten Sumenep ke-756 seharusnya menjadi momentum kebanggaan bersama, momen di mana rakyat merayakan sejarah, budaya, dan identitas daerahnya sendiri.
Namun, yang terjadi justru menimbulkan keluhan. Kritik dari para wartawan mengenai lokasi yang sempit, akses terbatas, dan tata acara yang tidak ramah publik bukan sekadar persoalan teknis semata—melainkan cerminan dari lemahnya manajemen ruang dan perencanaan acara publik yang seharusnya berpihak pada rakyat.
Ketika sebuah perayaan “hari jadi” lebih sibuk dengan kemegahan panggung, barisan tamu undangan VIP, dan tata cahaya spektakuler, sementara masyarakat kesulitan menikmati acara, di situlah makna perayaan mulai kehilangan rohnya.
“Hari jadi” bukan sekadar seremoni seremonial yang diulang setiap tahun, tetapi refleksi dari hubungan antara pemerintah dan rakyatnya.
Jika rakyat hanya dijadikan latar, bukan subjek utama, maka perayaan itu kehilangan substansinya.
Apa gunanya gegap gempita jika rakyat tidak bisa menikmati? Apa gunanya panggung megah bila ruang publik justru dipersempit? Hari jadi seharusnya menjadi ruang inklusif—tempat rakyat datang bukan karena diundang, tetapi karena merasa memiliki.
Rakyat adalah bagian dari sejarah berdirinya kabupaten, bagian dari denyut kehidupan daerah, bukan sekadar penonton di balik pagar pembatas.
Pemerintah daerah perlu belajar bahwa kemeriahan sejati bukan diukur dari panjangnya karnaval, besarnya panggung, atau ramainya pejabat yang hadir.
Esensi perayaan adalah keterlibatan dan kebahagiaan masyarakat. Saat masyarakat bisa tersenyum, merasa dilibatkan, dan punya ruang yang aman serta nyaman untuk merayakan bersama, di situlah sebuah hari jadi benar-benar hidup dan bermakna.
Perayaan publik semestinya menjadi refleksi kedekatan antara penguasa dan rakyatnya.
Karena tanpa rakyat yang hadir dan merasa memiliki, hari jadi hanyalah panggung kosong yang diramaikan oleh musik keras tapi tanpa jiwa.
Sudah saatnya pemerintah daerah menata ulang konsep perayaan: dari seremoni eksklusif menjadi ruang rakyat yang terbuka, hangat, dan bermakna bagi semua lapisan masyarakat. (*)



