CATATAN, PAREKAS – Di tengah derasnya arus konten dan karya yang membanjiri ruang publik hari ini, kita perlu kembali mengingat bahwa seni bukan sekadar hasil akhir berupa lukisan, musik, puisi, atau instalasi visual. Lebih dari itu, seni adalah cerminan dari sikap. Sikap seniman terhadap dunia, terhadap dirinya sendiri, terhadap nilai yang diyakininya, bahkan terhadap proses kreatif yang dijalaninya.
Sikap dalam seni bukan berarti semata-mata idealisme tinggi yang menggantung di awan. Ia bisa hadir dalam bentuk kesetiaan terhadap proses, kejujuran dalam berkarya, keberanian menyuarakan kebenaran, atau kerendahan hati untuk terus belajar. Seorang seniman yang memilih jalan sunyi demi menjaga integritas karyanya, misalnya, telah menunjukkan sikap yang patut dihargai lebih dari sekadar popularitas instan.
Dalam sejarah, banyak karya agung lahir dari sikap perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan, atau ketimpangan sosial. Seniman seperti Frida Kahlo, Rendra, atau Ai Weiwei menunjukkan bahwa seni bisa menjadi medium sikap kritis dan keberpihakan. Di sisi lain, bahkan karya yang sangat personal dan kontemplatif pun tetap merefleksikan sikap—yakni keberanian menggali diri sendiri secara jujur dan tanpa topeng.
Di era digital seperti sekarang, ketika semua orang bisa menjadi “seniman” dalam satu sentuhan layar, kita pun perlu bertanya: di balik estetika dan konsep yang ditawarkan, apakah ada sikap yang jujur? Apakah karya tersebut lahir dari pencarian makna, atau hanya ingin viral?
Seni yang besar bukan hanya membuat kita terkagum-kagum, tetapi juga menggerakkan kesadaran. Dan untuk itu, karya dan gagasan saja tidak cukup. Harus ada sikap yang menyertainya.***