CATATAN, PAREKAS – Di Desa Rantau Panjang, Kabupaten Merangin, Jambi, berdiri rumah tuo berusia tujuh abad yang menjadi saksi bisu berbagai aktivitas budaya masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang masih hidup hingga kini adalah ngiling bumbu—sebuah kegiatan yang jauh melampaui sekadar menggiling rempah, melainkan menjadi sarana mempererat solidaritas warga.
Tradisi ngiling bumbu umumnya dilakukan saat menghadapi momen-momen penting seperti musim tanam, panen, pernikahan, hingga pembangunan rumah baru. Dalam suasana penuh kebersamaan, para perempuan menyiapkan berbagai bumbu dapur seperti kunyit, jahe, dan lengkuas, sementara yang lain memarut kelapa. Semua bahan ini diperoleh dari ladang-ladang subur di sepanjang Sungai Lamuih, sumber kehidupan yang mengalir menuju Sungai Tabir hingga ke Batanghari.
Tak hanya berfungsi untuk menyiapkan makanan, ngiling bumbu juga menjadi ruang sosial tempat terjalinnya hubungan antar generasi. Dahulu, tradisi ini juga menjadi sarana muda-mudi untuk saling mengenal lewat pantun yang dilontarkan dengan jenaka dan penuh makna. Tradisi ini dikenal pula dengan sebutan ba usik sirih bergurau pinang, menggambarkan pertemuan jodoh dalam balutan budaya.
Selesai menggiling bumbu, kegiatan berlanjut ke proses memasak. Hidangan utama yang disiapkan adalah gulai belut dengan daun pakis, dimasak perlahan di atas tungku kayu. Gulai ini menjadi sajian istimewa yang mempererat ikatan masyarakat dalam jamuan bersama. Belut sendiri memiliki makna filosofis yang dalam: simbol ketangguhan dan daya juang.
Memancing belut dulunya merupakan ajang kompetisi di kalangan pemuda. Selain menunjukkan keterampilan, kegiatan ini juga membangun kerja sama tim dan mempererat solidaritas di antara mereka. Sayangnya, pergeseran nilai dan modernisasi membuat perlombaan ini semakin jarang digelar.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ngiling bumbu mulai mengalami perubahan. Kini, kegiatan tersebut lebih sering dilakukan oleh para ibu dalam rangka persiapan masak kenduri, sementara interaksi sosial muda-mudi bergeser ke dunia digital. Meski begitu, esensi dari kebersamaan dan gotong royong tetap terasa dalam setiap prosesnya.
Namun, tradisi ini menghadapi tantangan nyata. Aktivitas penambangan emas ilegal di sekitar Sungai Tabir menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, mengganggu aliran air ke sawah, dan mengancam ketersediaan belut sebagai bahan utama. Jika dibiarkan, bukan hanya hasil panen yang lenyap, tetapi juga warisan budaya yang telah turun-temurun dijaga.
Masyarakat Rantau Panjang menyadari pentingnya melestarikan ngiling bumbu. Tradisi ini bukan hanya tentang kuliner, tetapi juga tentang identitas budaya dan nilai-nilai kehidupan. Menjaganya berarti merawat hubungan dengan alam, menghargai kerja keras, dan meneruskan ajaran leluhur kepada generasi muda.
Ngiling bumbu adalah refleksi kearifan lokal yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia harus tetap hidup sebagai bagian dari jati diri bangsa.”***