Naskah: Amin
● Monolog satir tentang media cari muka dan panik massal gara-gara mobil dinas baru bupati. Kopi panas, kritik pedas, dan tawa rakyat berbaur.
● Lewat gaya warung kopi, monolog ini menguliti media penjilat dan pejabat yang senang dielus, bukan dikritik. Tajam, geli, dan penuh sindiran.
● Empat roda ngebul, kepala ikut ngebul. Monolog rakyat ini mengajak tertawa getir melihat wartawan gadungan rebutan pujian pejabat.
SASTRA, PAREKAS – Monolog teater rakyat—gaya koboy Madura, satir, dan tetap filosofis. Bayangkan seorang pria paruh baya, duduk di kursi plastik di tengah panggung sederhana, dikelilingi properti ala warung kopi: termos, gelas, asbak penuh puntung, dan sebuah koran tergulung di saku baju. Lampu remang. Musik latar: seruling khas Madura.
Teaser 1 — Gaya Satir Lucu
Empat roda ngebul, kepala rakyat ikut ngebul. Monolog koboy warung kopi ini siap nyentil yang suka nyusu ke meja kekuasaan.
—
Teaser 2 — Gaya Filosofis Nyentil
“Kalau media sibuk jadi pelindung, siapa yang jadi suara rakyat? Sebuah monolog tentang mobil, media, dan harga diri yang mulai obral.”
—
Teaser 3 — Gaya Humor Madura
“Katanya wartawan, tapi belum UKW. Katanya berita, tapi kok isinya pujian? Yuk, ngopi bareng sambil nonton monolog ngebul ini!”
—
Teaser 4 — Gaya Koboy Kasar Tipis
“Empat roda mulus, jalanan rakyat bolong. Berita mulus, logika rakyat bolong. Dengerin monolog ini, sebelum kepercayaan benar-benar nabrak!”
—
(Duduk sambil buka koran kusut)
“Katanya… mobil dinasnya baru, mewah, nyaman. Empat roda, suspensinya empuk, AC-nya dingin, kayak hati yang tak tersentuh kritik. Hehe… ya baguslah, semoga bannya tak pernah bocor di lubang-lubang jalan kampung kami.
Tapi… (berdiri, geleng-geleng kepala)
Yang bikin kepala ini ngebul bukan karena knalpotnya. Tapi karena setelah berita itu muncul, eh… muncul juga pasukan penyelamat citra!
Wartawan? Halah! Itu bukan wartawan, itu Wartawan Wannabe! Ngaku wartawan, tapi pegang kamera aja masih nanya: ‘Zoom-nya yang mana, Bos?’
(Melangkah maju ke tepi panggung, serius)
Media-media itu mendadak jadi seperti… seperti burung pipit yang rebutan remah pujian dari meja kekuasaan. Mencicit, memuji, menempel, dan… ya, harap maklum, kadang yang mereka cari bukan kebenaran, tapi like dari ajudan.
(Cekikikan pelan, nyulut rokok)
Saya kadang bingung… ini media apa majalah dinding sekolah dasar?
Judulnya ‘Klarifikasi’… isinya ‘Glorifikasi’.
Katanya independen, padahal order-nya indent—nunggu sinyal dulu dari kabag humas.
Katanya jurnalis, tapi belum pernah ikut UKW. Lah, kualifikasimu apa, Le? Buka press rilis, edit satu paragraf, upload… udah berasa jurnalis senior!
(Kembali duduk, tatap penonton)
Pak Fauzi… (lirih, sok ngadu)
Saya ini punya banyak pengagum, Pak. Tapi bukan fans fanatik. Mereka fans yang… yaa suka cari muka. Mau dekat, mau nyolek, biar difollow balik.
Tiap saya nulis sedikit pedas, langsung ada yang bisik-bisik: “Ati-ati, Don. Bos besar bisa baca…”
Lah, emang saya nulis buat dibaca! Masa harus nulis buat dibiarin?
(Mendadak lantang)
Tapi, Pak… kalau boleh saya usul.
Kalau mereka datang ke kantor sambil senyum-senyum, bawa print berita bela-belaan…
Tolong, Pak. Lihat mata mereka, terus bilang:
“Le… saya ini butuh kritik, bukan krisan. Krim wajah aja bisa nyegerin muka, apalagi kritik yang tulus. Jangan semua berita kalian jadi puisi buat saya. Saya bukan kekasih, saya pejabat publik!”
(Pause, tatap lantai)
Soalnya kalau media udah takut nyentil, dan pemerintah senang dielus,
ya nanti yang gede itu bukan kepercayaan, tapi ego.
Dan kalau ego yang gede… kita semua bisa ditabrak—bahkan oleh mobil dinas sendiri.
(Berdiri pelan, menatap ke horizon imajiner)
Jadi… selamat pagi, wahai wartawan-wartawan yang belum UKW.
Selamat datang di zaman ketika berita dibuat bukan untuk membangunkan rakyat, tapi membanggakan pejabat.
Tapi jangan lupa, rakyat itu bisa diam, bisa juga diam-diam mencatat—bahwa catatan rakyat… lebih tajam dari berita pesanan.
(Senyum kecil, lalu minum kopi, gelap.)
***