Idul Fitri: Ajang Silaturahmi atau Pamer Kemewahan?

ILUSTRASI. Potret esensi perayaan Idul Fitri dengan kehangatan kebersamaan, kontras antara kesederhanaan dan kemewahan. (Dok. Redaksi Parekas)
ILUSTRASI. Potret esensi perayaan Idul Fitri dengan kehangatan kebersamaan, kontras antara kesederhanaan dan kemewahan. (Dok. Redaksi Parekas)

KELILING, PAREKAS – Idul Fitri selalu identik dengan momen kebersamaan dan silaturahmi. Setelah satu bulan penuh menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, hari kemenangan menjadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul dengan keluarga, saling memaafkan, serta mempererat hubungan yang mungkin renggang akibat kesibukan sehari-hari.

Namun, di tengah euforia perayaan, tak jarang muncul fenomena lain: ajang pamer. Baju baru, kendaraan mewah, perhiasan berkilauan, dan hidangan berlimpah sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri.

Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, terkadang esensi sejati dari Idul Fitri justru tertutupi oleh ambisi untuk menunjukkan keberhasilan materi.

Baca Juga:  Tahlilan, Kompleksitas Dalam Tradisi Islam

Media sosial pun turut memperparah situasi dengan unggahan-unggahan yang memperlihatkan gaya hidup glamor selama lebaran, seolah kebahagiaan diukur dari seberapa mahal barang yang dikenakan atau mewahnya tempat yang dikunjungi.

Lantas, apakah ini berarti menunjukkan kemewahan saat Idul Fitri itu salah? Tidak sepenuhnya.

Setiap orang berhak menikmati hasil kerja kerasnya, termasuk merayakan hari besar dengan penuh suka cita.

Namun, ketika hal tersebut berujung pada budaya pamer yang menimbulkan kesenjangan sosial dan perasaan minder bagi mereka yang kurang mampu, maka perlu ada kesadaran untuk kembali kepada hakikat Idul Fitri yang sesungguhnya.

Baca Juga:  Pasangan FAHAM Resmi Pimpin Sumenep, KPU Serahkan SK Pengesahan

Idul Fitri seharusnya menjadi ajang untuk berbagi kebahagiaan, bukan ajang untuk menunjukkan siapa yang lebih kaya atau sukses.

Lebaran adalah momen untuk mempererat tali persaudaraan, menebar kebaikan, serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan.

Menghargai mereka yang kurang beruntung dengan tidak berlebihan dalam menampilkan kemewahan adalah bagian dari kepedulian sosial yang seharusnya dijunjung tinggi.

Kita perlu mengembalikan makna Idul Fitri sebagai ajang silaturahmi yang tulus. Lebih baik fokus pada nilai-nilai kebersamaan, saling memaafkan, dan berbagi, daripada sekadar berlomba dalam urusan materi.

Baca Juga:  Kadisbudporapar Sumenep Singgung Kesadaran Wisata oleh Masyarakat, Desa Badur Bisa Jadi Contoh

Mengunjungi sanak saudara tanpa memandang status sosial, berbagi rezeki dengan mereka yang membutuhkan, serta menjaga kesederhanaan adalah langkah nyata untuk menjadikan Idul Fitri lebih bermakna.

Pada akhirnya, Idul Fitri adalah tentang kemenangan melawan hawa nafsu, termasuk nafsu untuk pamer.

Mari rayakan dengan cara yang lebih bijak, agar kebahagiaan yang dirasakan tidak hanya sesaat, tetapi juga memberikan keberkahan bagi semua.

Karena sejatinya, makna lebaran yang paling indah adalah kebersamaan dan kasih sayang yang tulus, bukan kemewahan yang hanya bersifat sementara.***